Penaklukan Mekah (Fatḥ Makkah) merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam. Bahkan Debby M. Nasution mencatatnya sebagai klimaks dari kemenangan militer dan dakwah Islam.
Dalam momen mahapenting ini, terlihat jelas ketulusan Nabi SAW dan para sahabat beliau menyangkut semua ketentuan Perjanjian Hudaibiyah. Sebaliknya, pengkhianatan dan pelanggaran kaum Quraisy terhadap ketentuan pakta perdamaian tersebut juga terlihat jelas.
Kajian terhadap peristiwa tersebut membuktikan kecakapan dan kemahiran Nabi SAW serta kebijakan arif yang ditempuhnya untuk menaklukkan kubu musuh. Seakan-akan beliau lulusan suatu akademi militer yang brilian. Beliau merencanakan kemenangan seperti komandan yang berpengalaman, sehingga kaum Muslim meraih sukses terbesar, tanpa kesukaran dan kerugian.
Latar Belakang Sejarah
Pada 6 Hijriyah, perjanjian antara pemimpin Quraisy, Suhail bin Amr,dan Nabi SAW di Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan oleh kedua pihak. Di antara poin penting isi perjanjian itu, kaum Quraisy dan kaum Muslim bebas mengadakan aliansi dengan suku lain sesuka hati. Berdasarkan isi pakta tersebut, suku Banî Khuzâ’ah membuat perjanjian dengan kaum Muslim untuk saling melindungi. Sementara itu, suku Banî Bakr bin ‘Abdul Manât bin Kinânah —musuh lama Banî Khuzâ’ah—beraliansi dengan Quraisy.
Selama hampir dua tahun Pakta Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh Semenanjung Arab dan memperoleh tanggapan yang positif. Hampir seluruh Semenanjung Arab, termasuk suku-suku paling Selatan, telah memeluk Islam. Fenomena perkembangan Islam yang demikian pesat itu membuat orang-orang Quraisy Mekah merasa terpojok. Dalam asumsi mereka, ternyata Pakta Hudaibiyah telah menjadi senjata bagi kaum Muslim untuk memperkuat diri.
Oleh karena itu, secara sepihak, orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tersebut. Mereka menyerang Banî Khuzâ’ah—sekutu kaum Muslim—hanya karena suku itu berselisih dengan Banî Bakr yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Khuzâ’ah mereka bunuh dan yang lainnya dicerai-beraikan. Banî Khuzâ’ah segera mengadu kepada Nabi SAW dan meminta keadilan.
Tokoh-tokoh Quraisy sangat menyadari besarnya risiko yang akan mereka tanggung sebagai akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perjanjian damai yang baru berlangsung selama kurang-lebih satu setengah tahun itu. Mereka pun sepakat untuk mengutus Abû Sufyân bin Harb ke Madinah, melobi Rasulullah untuk memperbaiki memperpanjang masa berlaku pakta tersebut. Quraisy benar-benar berharap dapat membujuk Rasulullah SAW ke meja perundingan dan memaafkan pengkhianatan yang memalukan tersebut. Namun, upaya Quraisy Mekah tersebut ternyata gagal total sehingga menimbulkan kekecewaan dan kepanikan di pihak mereka.
Persiapan Rasulullah Menaklukkan Musuh
Seluruh rangkaian kehidupan Nabi SAW memperlihatkan bahwa beliau selalu berusaha agar musuh menyerah di hadapan kebenaran. Beliau tidak pernah berpikir untuk membalas dendam atau memusnahkan musuhnya. Di banyak pertempuran, tujuan beliau adalah menggagalkan rencana musuh dan membubarkan persekongkolan. Beliau yakin betul, jika orang-orang yang berkumpul dan bersekongkol untuk menghalangi dakwah Islam, meletakkan senjata, pastilah kelak mereka akan tertarik pada Islam dan menjadi pendukungnya.
Pada waktu penaklukan Mekah, fenomena ini muncul dalam bentuknya yang sempurna. Nabi SAW tahu, apabila beliau menaklukkan Mekah, melucuti musuh, dan menenteramkan lingkungannya, para musuh bebuyutan itu akan segera menjadi pengikut setia Islam. Oleh karena itu, beliau memandang perlu untuk menaklukkan musuh, tetapi tidak untuk menghancurkannya, dan sedapat mungkin menghindari pertumpahan darah.
Untuk mencapai sasaran suci ini, dibutuhkan strategi menyergap musuh secara mendadak. Musuh harus diserang dan dilucuti sebelum sempat berpikir untuk mengumpulkan kekuatan dan mempertahankan diri. Akan tetapi, strategi itu hanya dapat terlaksana apabila seluruh rahasia militer kaum Muslim terjaga dengan aman, sehingga musuh tidak tahu apakah Nabi sudah memutuskan untuk menyerang ataukah baru memikirkannya.
Tentara Islam belum bergerak ketika Malaikat Jibril memberitahu Rasulullah SAW bahwa seorang yang berpikiran sempit dalam jajaran kaum Muslim telah menulis surat kepada Quraisy Mekah dan menitipkannya kepada seorang wanita bernama Sârah, budak Banî ‘Abd al-Muththalib. Para sejarawan mencatat bahwa surat itu dikirimkan oleh seorang sahabat pahlawan Perang Badr, Hâthîb bin Abî Balta’ah. Ketika diinterogasi oleh Rasulullah SAW, Hâthîb—dengan suara memelas—menjawab, “Ya RasulAllâh, aku bersumpah demi Allâh, aku akan tetap beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya. Tidak sedikit pun perubahan dalam hatiku. Aku ini seorang muhajir yang tidak punya sanak-saudara di kalangan kaum musyrik Quraisy, padahal aku meninggalkan seorang isteri dan seorang anak di tengah-tengah mereka. Dengan surat itu, aku bermaksud meminta perlindungan mereka bagi anak dan istriku dan mengakhiri penyiksaan terhadap keduanya”. Meskipun sangat terganggu dengan perbuatan Hâthîb, Rasulullah SAW, dengan berbagai pertimbangan kemudian membebaskannya. Untuk menjamin agar peristiwa itu tidak terulang, turunlah sembilan ayat pertama dari Sûrah al-Mumtahanah.
Berdasarkan prinsip serangan mendadak, maka waktu berangkat, jadwal perjalanan, dan tujuan perjalanan, tidak diungkapkan kepada siapa pun sampai perintah bertolak diumumkan Nabi SAW pada 10 Ramadan 8 H, meskipun instruksi untuk bersiap-siap sudah diberikan sebelumnya kepada kaum Muslim Madinah dan sekitarnya. Pada hari keberangkatan itu, beliau mengangkat Abû Ruhm al-Ghifârî sebagai wakilnya di Madinah, dan memeriksa tentaranya di pinggiran Madinah.
Berangkat Menuju Mekah dan Beberapa Catatan Penting
Pada hari itu, Rasulullah SAW berangkat menuju Mekah dengan membawa 10.000 tentara. Para sahabat dari kalangan Muhâjirîn dan Anshâr tidak seorang pun tertinggal. Dalam perjalanannya, Rasulullah SAW dan seluruh pasukan tetap melaksanakan shaum. Namun, ketika mencapai suatu daerah yang bernama Kadîd, beliau dan pasukannya pun berbuka.
Sebelum memasuki Makkah, terdapat beberapa kejadian penting yang penulis rangkum sebagai berikut:
- Ketika mencapai Juhfah, beliau berjumpa dengan ‘Abbâs bin Abd al-Muththalib r.a.—paman beliau—bersama dengan keluarga yang keluar meninggalkan Mekah untuk berhijrah ke Madinah. ‘Abbâs pun bergabung bersama beliau;
- Pada waktu Isya, pasukan kaum Muslim mencapai Marru Zhahrân dan beristirahat di sana. Rasulullâh SAW menginstruksikan kepada setiap anggota pasukan agar menyalakan obor sebagai bentuk perang urat syaraf terhadap musuh. Beliau mengangkat ‘Umar bin Khaththab r.a. sebagai komandan pasukan jaga. Sementara itu, ‘Abbâs r.a. melakukan patroli serta mencari seseorang yang sekiranya dapat disuruh untuk menjumpai kaum Quraisy di Mekah agar mereka menyerah tanpa syarat sebelum pasukan Muslim menggempur mereka;
- Di dalam patroli yang dilakukannya, ‘Abbâs r.a. bertemu dengan Abû Sufyân bin Harb dan Budhâil bin Waraqâ` yang sedang mendiskusikan nyala obor pasukan Muslim. Pertemuan ini akhirnya mengantarkan Abû Sufyân menemui Rasulullah dan memeluk Islam;
- Rasulullah SAW menyetujui saran ‘Abbâs r.a. untuk memberikan sedikit “kebanggaan” kepada Abû Sufyân, maka beliau pun bersabda, “Baiklah, (Abû Sufyân diberi wewenang untuk meyakinkan orang bahwa) siapa saja yang masuk ke rumah Abû Sufyân , akan selamat. Siapa saja yang mengunci pintu rumahnya, akan selamat. Dan, siapa saja yang masuk ke Masjid al-Harâm, akan selamat”.
Mekah Menyerah, Mekah Futûh
Ketika Abû Sufyân menyerah pada kehebatan Nabi SAW dan menyatakan keimanannya, Rasulullah SAW memutuskan untuk memanfaatkan kehadiran “mantan” musuh beliau ini untuk menggetarkan kaum musyrik. Oleh karena itu, beliau meminta ‘Abbâs r.a. menahannya di lembah sempit sehingga unit demi unit dari parade militer tentara Islam dapat melewatinya dengan seluruh perlengkapan perang. Ia perlu menyaksikan kekuatan militer Islam agar, sekembalinya ke Mekah, ia dapat mengabarkannya kepada Quraisy.
Abû Sufyân menyaksikan keberangkatan pasukan besar itu, divisi demi divisi secara teratur. Dan terakhir, adalah pasukan Rasulullah SAW yang terdiri atas kalangan Muhajirin dan Anshar lengkap dengan persenjataan mereka. ‘Abbâs r.a. pun mengingatkan agar Abû Sufyân segera berangkat ke Mekah untuk memberi tahu masyarakat.
Betapa terkejut dan paniknya Quraisy mendengar berita yang tidak mereka duga sama sekali. Mereka seolah-olah tidak percaya.
Ketika pasukan besar itu sampai di Dzî Thuwâ dan segera memasuki Mekah, Rasulullah SAW kembali membagi atau memecah pasukannya. Pasukan khusus di bawah komando Zubair bin ‘Awwâm beliau instruksikan masuk melalui Kudân, arah sebelah kiri Mekah. Satu pasukan khusus lagi, pimpinan Sa’ad bin ‘Ubâdah (namun karena suatu alasan khusus, beliau ganti dengan ‘Alî bin Abî Thalâb krw.), beliau instruksikan masuk dari Kadâ’. Kemudian beliau instruksikan kepada pasukan Abû Ubaidah bin Jarrâh untuk berjalan di depan pasukan beliau yang datang dari bagian atas Mekah, Adzâkhir. Di tempat itu, kemah beliau dirikan.
Rasulullah SAW dan pasukan Muslim memasuki Mekah tanpa mengalami kesukaran, kecuali perlawanan kecil dari pasukan ‘Ikrimah bin Abî Jahl, Shafwân bin Umayyah, dan Suhail bin Amr. Ketika pasukan Islam pimpinan Khâlid bin Walîd tiba di Khandamah, pertempuran kecil terjadi yang dengan mudah dimenangi oleh pasukan Muslim.
Dua belas orang dari pasukan Quraisy terbunuh dan sisanya melarikan diri, termasuk ‘Ikrimah, Shafwân, Suhail, dan Himas bin Qais. Sementara itu, dua orang dari pasukan Muslim yang meninggal sebagai syahid. Kedua orang itu adalah Kurz bin Jâbir al-Fihrî dan Khunais bin Khâlid bin Rabî’ah.
Demikianlah, pasukan Muslim menaklukkan Mekah tanpa kekerasan. Rasulullah SAW dan pasukan Muslim memasukinya dengan tawadu. Ketika menyaksikan kemuliaan yang dianugerahkan Allâh kepadanya dengan “futûh”nya Mekah, beliau merendahkan dirinya di hadapan Allâh ‘Azza wa Jalla dengan menundukkan kepada seraya membaca Surah al-Fath. Begitu khusyuknya, dagu beliau hampir-hampir menyentu punggung onta yang beliau kendarai.
Berikut ini adalah di antara aktivitas penting yang beliau lakukan pascakemenangan besar itu:[14]
1. Menghancurkan seluruh berhala di Ka’bah dan sekitarnya. Pada saat itu, terdapat 360 berhala. Beliau memulai menyodoknya sambil berucap, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah hancur. Sesungguhnya kebatilan itu pasti hancur!” (Q.S. al-Isrâ` [17]: 81).
2. Memberikan pengampunan (amnesti) massal;[15]
3. Mengembalikan kehormatan Mekah melalui khutbah yang beliau ucapkan sehari setelah Fath Makkah;
4. Mengutus Khâlid bin Walîd kepada Banî Jazûmah untuk menyeru mereka masuk Islam.
Khâtimah
Dalam peristiwa Fath Makkah, Rasulûllâh SAW—sekali lagi—menunjukkan kepiawaiannya sebagai ahli strategi perang yang andal, panglima gagah-berani yang bijaksana, tetapi tidak “haus darah”. Kecintaan beliau kepada kemanusiaan serta kepeduliannya kepada keselamatan jiwa dan harta musuhnya juga terbukti pada peristiwa ini. Di dalam petikan uraian sejarah yang penulis paparkan di atas, tampak dengan jelas betapa manusia agung ini, dengan visi yang sangat cerdas, mengabaikan kejahatan Quraisy dan mempermaklumkan amnesti massal. Sesungguhnya, dari sinilah kemenangan sejati itu bermula.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemenangan yang agung dalam Fath Makkah memberikan efek yang sangat dahsyat bagi perkembangan Islam selanjutnya. Masuknya masyarakat Mekah ke dalam Islam ternyata berpengaruh besar terhadap penduduk Arab pada umumnya.
Sejarah kemudian mencatat, pada tahun 9 dan 10 H, berbagai suku dari pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan ketundukan. Mereka datang ke Madinah rombongan demi rombongan untuk memelajari Islam, dan setelah itu mereka kembali ke negeri masing-masing untuk mengajarkannya kepada kaumnya. Peperangan antarsuku yang telah berlangsung dalam hitungan abad pun berubah menjadi persaudaraan dalam agama. Allâh Akbar wa li Allâh al-Ḥamd!
(Agustan Ahmad Danie)